Suatu malam saya menghadiri rapat pembentukan pengurus masjid terdekat. Seperti biasa, tidak heran kalau saya termasuk golongan paling bungsu karena cuma saya angkatan 80an. Sesaat setelah ketua terpilih membacakan susunan pengurus yang baru, bapak paru baya disampingku berbisik.
"ngapolah yo, kalu nyusun panitia...ceto nian aku dimasukke di panitia keamanan. Lah berapo kali pindah rumah, maseh bae dibuat wong. Payo sekali-kali di bagian laen....Apo aku ni pecak preman nian..." (ucapnya di dalam setengah bercanda)
Mendengar keluhannya, saya sempat beberapa detik merenung dan menoleh kearahnya.
"Ah... jangan caktu mang, sabaaaaaar....bukannyo apo...coba mamang tu peratike segalo yang hadir ni. Pecaknyo mamang tula yang punyo ati dan mental berani...hehehe..."
____________
Secara tidak langsung pengalaman ini mengingatkan ku akan satu istilah populer, mungkin lebih tepatnya hadits "Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk/digolongkan kaum tersebut" HR. Abu Daud.
Setelah ku kaji, ternyata masa muda sang bapak tadi banyak dihabiskan dengan perbuatan hura-hura dan suka bergaul dengan kaum kontradiktif. Hal inilah yang mungkin menggiring opini masyarakat dan menjadi salah satu faktor dalam mengambil suatu keputusan atau kebijakan, apalagi diperkuat dengan tekstur masyarakat Indonesia yang masih memegang erat prinsip "bebet, bibit, bobot".
Komentar
Posting Komentar