Mungkin kita sering mendengar pemberitaan tentang seorang ustad yang
naik daun (hehehe.... pecak ulat be), terus ada juga ustad yang jadi
buah bibir atau bahkan pergunjingan khususnya di media sosial exp
"Seharusnya ustad itu bla... bla...bla....", "ustad kok begitu ya..."
dll. Anehnya lagi mata kamera terasa lebih tajam ke arah "ustad"
ketimbang yang lain.
Ada baiknya kita flashback dulu arti kata "ustad" sambil browsing kudai.
Kata "ustad" bukanlah berasal dari bahasa arab melainkan Persia (Iran) artinya guru / pengajar / ahli bidang industri / level tertinggi gelar akademisi. Di negara arab sendiri "ustad" diartikan dosen / ahli / akademisi / pakar.
Di Mesir, penggunaan kata ustad cenderung ke arah level tertinggi gelar akademisi, jadi misalnya ustad. Sugiyono itu artinya profesor Sugiono, ustazah. Mariyem artinya profesor Mariyem.
Jauh berbeda kalau di India, gelar "ustad" diartikan sebagai orang yang ahli dibidang seni (maestro).
Sekarang bagaimana Indonesia....???
Tanpa disadari di Indonesia telah terjadi desakralisasi (hehe.... bahasa dusun yo "penurunan nilai"). Hhhmmm.... mungkin dipengaruhi oleh kultur rakyat kita yang senang menghargai orang lain walaupun sedikit berlebihan. Apalagi sekarang zamannya medsos yang memiliki pengaruh besar dalam menciptakan opini.
Sapaan ustad disematkan pada orang yang mengajarkan ilmu agama. Guru ngaji, baca tulis Al-QuraN, TPA / TPQ, madrasah dan perguruan bergenre keagamaan.
Sayangnya, mudahnya memberikan gelar ustad kepada seseorang dapat berdampak negatif disaat desakralisasi kata tak seiring dengan asa.
Bila kita melihat dari segi kultur masyarakat, tidak ada yang disalahkan terkait terjadinya desakralisasi kata "ustad". Hanya saja terkadang masyarakat kita mudah kebablasan dengan meninggalkan proporsionalitas.
Contoh kecilnya bila ada seseorang yang gemar memakai atribut "kearaban" serta merta langsung disandangkan gelar "ustad", namun ketika ia tersandung suatu masalah, mendadak mata dunia menghujam tanpa iba. HHmmm memang rakyat kita gemar memuji sekaligus mencaci.
Kalau melihat case ini wajar-wajar saja jika salah satu rekan kerjaku merasa risih ketika di sapa dengan kata "ustad".
Mungkin ada baiknya kita menyadari bahwa dia (ustad) itu juga masih tergolong manusia sama seperti yang lain. Ia butuh makan, tidur, seorang pendamping hidup, rumah, kendaraan sekaligus pasti bisa khilaf dan lupa. Dengan ini mudah-mudahan cara kita menghakiminya lebih mengedepankan etika dalam bentuk mengingatkan ketimbang membunuh karakternya.
Disisi lain seseorang yang telah disematkan pada dirinya sebagai seorang "ustad' hendaknya meningkatkan integritas tinggi akan pemahaman dan penguasaan ajaran islam minimal apa yang ia ucapkan hendaknya sesuai dengan apa yang dikerjakan.
Berprofesi sebagai ustad (hehehe yang benar-benar ustad maksudnyo) adalah pekerjaan mulia yang dituntut berakhlak mulia, tutur sopan dan tauladan. Tanpa mengharapkan jabatan, kemewahan, materi, popularitas dan lain sebagainya.
Ada baiknya kita flashback dulu arti kata "ustad" sambil browsing kudai.
Kata "ustad" bukanlah berasal dari bahasa arab melainkan Persia (Iran) artinya guru / pengajar / ahli bidang industri / level tertinggi gelar akademisi. Di negara arab sendiri "ustad" diartikan dosen / ahli / akademisi / pakar.
Di Mesir, penggunaan kata ustad cenderung ke arah level tertinggi gelar akademisi, jadi misalnya ustad. Sugiyono itu artinya profesor Sugiono, ustazah. Mariyem artinya profesor Mariyem.
Jauh berbeda kalau di India, gelar "ustad" diartikan sebagai orang yang ahli dibidang seni (maestro).
Sekarang bagaimana Indonesia....???
Tanpa disadari di Indonesia telah terjadi desakralisasi (hehe.... bahasa dusun yo "penurunan nilai"). Hhhmmm.... mungkin dipengaruhi oleh kultur rakyat kita yang senang menghargai orang lain walaupun sedikit berlebihan. Apalagi sekarang zamannya medsos yang memiliki pengaruh besar dalam menciptakan opini.
Sapaan ustad disematkan pada orang yang mengajarkan ilmu agama. Guru ngaji, baca tulis Al-QuraN, TPA / TPQ, madrasah dan perguruan bergenre keagamaan.
Sayangnya, mudahnya memberikan gelar ustad kepada seseorang dapat berdampak negatif disaat desakralisasi kata tak seiring dengan asa.
Bila kita melihat dari segi kultur masyarakat, tidak ada yang disalahkan terkait terjadinya desakralisasi kata "ustad". Hanya saja terkadang masyarakat kita mudah kebablasan dengan meninggalkan proporsionalitas.
Contoh kecilnya bila ada seseorang yang gemar memakai atribut "kearaban" serta merta langsung disandangkan gelar "ustad", namun ketika ia tersandung suatu masalah, mendadak mata dunia menghujam tanpa iba. HHmmm memang rakyat kita gemar memuji sekaligus mencaci.
Kalau melihat case ini wajar-wajar saja jika salah satu rekan kerjaku merasa risih ketika di sapa dengan kata "ustad".
Mungkin ada baiknya kita menyadari bahwa dia (ustad) itu juga masih tergolong manusia sama seperti yang lain. Ia butuh makan, tidur, seorang pendamping hidup, rumah, kendaraan sekaligus pasti bisa khilaf dan lupa. Dengan ini mudah-mudahan cara kita menghakiminya lebih mengedepankan etika dalam bentuk mengingatkan ketimbang membunuh karakternya.
Disisi lain seseorang yang telah disematkan pada dirinya sebagai seorang "ustad' hendaknya meningkatkan integritas tinggi akan pemahaman dan penguasaan ajaran islam minimal apa yang ia ucapkan hendaknya sesuai dengan apa yang dikerjakan.
Berprofesi sebagai ustad (hehehe yang benar-benar ustad maksudnyo) adalah pekerjaan mulia yang dituntut berakhlak mulia, tutur sopan dan tauladan. Tanpa mengharapkan jabatan, kemewahan, materi, popularitas dan lain sebagainya.
Komentar
Posting Komentar