Memasuki hari terakhir pendaftaran siswa baru di PPI, sekilas ku lirik 
papan rekapitulasi pendaftar. Sempat tersenyum melihat total pendaftar 
yang melewati angka 1.000. 
Dalam lamunan ku coba analisa pencapaian 
angka fantastis ini di tengah gempuran sekolah gratis. 
Sekolah-sekolah dibawah naungan pesantren semuanya berstatus swasta dan 
ini menjadi pengurangan satu point.
Karena status swasta, maka dia dituntut untuk melakukan kemandirian 
disegala bidang tidak terkecuali masalah keuangan, hal ini menyebabkan 
begitu besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh para wali. Sangat 
kontras jika dibandingkan dengan sekolah/madrasah berstatus negeri yang 
"Gratis", satu point lagi yang harus dikurangi untuk pesantren.
Kemungkinan ada satu point lagi akan dilepaskan disaat menilai sarana 
dan prasarana yang ada.
Jika melihat beberapa faktor di atas, rasanya sulit untuk dijadikan 
landasan penilaian masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di pesantren.
Di tengah dekadensi moral remaja seperti sekarang ini, orang tua terpaksa harus berpikir keras hanya untuk mengambil satu keputusan dimanakah sekolah yang layak bagi buah hatinya.
Di tengah dekadensi moral remaja seperti sekarang ini, orang tua terpaksa harus berpikir keras hanya untuk mengambil satu keputusan dimanakah sekolah yang layak bagi buah hatinya.
Orang tua tidak lagi banyak berpikir seberapa besar biaya yang harus 
dikeluarkan, seberapa jauh jarak yang harus ditempuh dan seberapa lama 
harus berpisah dari sang anak. Pikiran mereka hanya akhlak yang baik 
secara langsung maupun tidak menentukan masa depan sang anak itu 
sendiri.
Ada satu ungkapan yang menarik perhatian penulis yakni dari salah satu 
dosen IAIN RF Palembang Dr. Heri Junaidi yang menyatakan "Tidak masalah 
rapot anak aku merah, asal dio pake jilbab". Sungguh suatu pernyataan 
yang sederhana namun mengandung arti yang begitu dalam.
Terlepas dari dinamika pro dan kontra UN serta kurikulum terbarukan, ungkapan tersebut dapat dimaknai bahwa orang tua sekarang tidak lagi mengedepankan dan mengeluh-eluhkan prestasi akademik anaknya, tetapi pertama dan utama yang mereka harapkan adalah akhlakul karimah sang buah hati.
Terlepas dari dinamika pro dan kontra UN serta kurikulum terbarukan, ungkapan tersebut dapat dimaknai bahwa orang tua sekarang tidak lagi mengedepankan dan mengeluh-eluhkan prestasi akademik anaknya, tetapi pertama dan utama yang mereka harapkan adalah akhlakul karimah sang buah hati.
Disinilah mungkin salah satu faktor para orang tua memilih lembaga 
pendidikan yang berlandaskan dan menitikberatkan pendidikan agama bagi 
anak-anak mereka karena pendidikan akhlak tidak dapat dipisahkan dengan 
pendidikan agama itu sendiri.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar