Menandakan bahwa sebentar lagi Lebaran tiba. Ada rasa suka yang berselimut duka dalam menyambut Idulfitri kali ini. Di satu sisi, kebahagiaan terasa karena momen kemenangan semakin dekat. Namun di sisi lain, tuntutan hidup terus berdatangan, ditambah dengan pesan demi pesan dari orang-orang yang meminta THR.
Di tengah kesulitan ini, bayangan perjuangan almarhum Ayah kembali hadir. Betapa besar pengorbanannya dulu. Tak terbayangkan bagaimana beliau menghadapi begitu banyak tuntutan—bukan hanya dari kami, sepuluh anaknya, tetapi juga dari keluarga terdekat, tetangga, dan orang-orang di sekelilingnya.
Kadang timbul rasa malu dalam hati ketika aku ingin mengeluh.
Aku, yang hanya memiliki empat anak, sudah sering merasa kerepotan.
Lalu bagaimana dengan beliau?
Bagaimana beliau bisa menghadapi kehidupan yang begitu berat, mendengar dan memenuhi harapan dari sepuluh anaknya?
Sungguh, betapa besar kesabaran dan keteguhan hatinya.
Sepuluh anak, sepuluh baju baru.
Belum lagi kue lebaran yang harus disiapkan.
Ramadhan, oh Ramadhan…
Kenangan itu masih begitu jelas. Aku ingat bagaimana Ayah selalu berusaha membelikan kami baju baru di pasar kalangan. Jika kupikirkan sekarang, entah dari mana beliau mendapatkan uangnya. Pekerjaannya hanyalah serabutan, tak menentu. Namun, beliau tak pernah mengeluh. Yang kutahu, kami selalu merasa bahagia, meskipun di balik itu ada perjuangan yang mungkin tak pernah kami pahami sepenuhnya.
Benar kata orang, jika kita tidak mengalami sendiri, kita tak akan pernah benar-benar mengerti.
Semoga aku mewarisi semangat perjuangan dan kesabaranmu, Bapak.
Ini bukan tentang gengsi, tapi tentang sesuatu yang pasti—tentang perjuangan hidup yang harus dijalani dengan keikhlasan.
Bapak… kini aku mengerti.
Ya Allah, betapa hebat perjuanganmu dulu.
Tantangan yang kurasakan sekarang ternyata hanya seujung kuku dibanding dengan bebanmu kala itu.
Pergi subuh, pulang malam—bahkan kadang, baru kembali ke rumah keesokan harinya.
Tinggal di rumah gubuk.
Bekerja tanpa kepastian.
Namun, kau tetap memaksa anak-anakmu untuk terus bersekolah.
Kini, ada penyesalan besar dalam hatiku.
Mengapa dulu aku tak memahami arti guratan di wajahmu?
Mengapa aku terus merengek ingin ini dan itu?
Mengapa aku selalu menagih uang SPP tanpa peduli bagaimana engkau mencari rupiah demi rupiah?
Ya Allah, Ya Rabb…
Ampunilah segala dosa Bapakku.
Lapangkanlah kuburnya, terangi alam barzahnya, dan tempatkanlah ia di surga-Mu yang paling indah.
اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه
Al-Fatihah…
__________________________
"Life isn’t about waiting for the storm to pass, but about learning to dance in the rain.
So, let’s face it beautifully, even if we don’t know how this story will end."
Komentar
Posting Komentar