Sabtu, 06 September 2025

Relevansi Nilai Pancasila dalam Kehidupan Global #7

Globalisasi merupakan fenomena yang membawa perubahan besar dalam hampir seluruh aspek kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, budaya, hingga teknologi. Arus informasi dan interaksi lintas negara berlangsung semakin cepat, masif, dan tanpa batas sehingga menciptakan dunia yang semakin terhubung. Kondisi ini memberikan peluang besar bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperluas jaringan diplomasi, memperkaya budaya melalui pertukaran lintas bangsa, serta mengakses teknologi modern yang menunjang pembangunan nasional. Namun, globalisasi juga menghadirkan tantangan serius, seperti tergerusnya nilai-nilai lokal akibat penetrasi budaya asing, meningkatnya ketimpangan sosial-ekonomi, hingga ancaman melemahnya identitas kebangsaan.
Dalam konteks tersebut, Pancasila memiliki relevansi fundamental sebagai dasar negara, ideologi bangsa, sekaligus pandangan hidup yang mampu menjaga jati diri Indonesia. Notonagoro (1983) menegaskan bahwa Pancasila merupakan philosophische grondslag (dasar filsafat) bangsa yang bersifat universal sekaligus kontekstual, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Nilai-nilai Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai pedoman internal dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga memiliki daya jangkau universal yang dapat dijadikan kontribusi Indonesia dalam kehidupan global.

Lebih jauh, Yudi Latif (2018) menekankan bahwa Pancasila memiliki dua dimensi penting: pertama, sebagai identitas nasional yang mengikat keutuhan bangsa; kedua, sebagai etika publik yang dapat ditawarkan dalam percaturan internasional. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga aplikatif dalam menghadapi tantangan global. Hal ini sejalan dengan pandangan Soedjatmoko (1995) yang menyatakan bahwa globalisasi hanya dapat dihadapi dengan kekuatan moral dan kultural yang berakar pada jati diri bangsa.

Oleh karena itu, berlandaskan Pancasila, Indonesia dapat menempatkan diri sebagai bangsa yang terbuka terhadap modernisasi dan kemajuan global, namun tetap berakar kuat pada nilai-nilai luhur yang menjaga persatuan, keadilan, dan kemanusiaan. Pancasila pada akhirnya berfungsi bukan hanya sebagai benteng pertahanan moral dan identitas nasional, melainkan juga sebagai sumber inspirasi dalam menjawab persoalan global secara lebih adil, humanis, dan berkeadaban.
 
Relevansi Nilai-Nilai Pancasila

Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, menekankan pentingnya dimensi spiritual dalam kehidupan manusia. Keberadaan sila ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mengakui peran fundamental agama dalam membentuk moralitas, etika, dan tata kehidupan sosial. Dalam konteks global, perbedaan agama seringkali menjadi pemicu konflik, baik dalam bentuk diskriminasi, intoleransi, maupun peperangan yang berakar pada sentimen keagamaan. Karena itu, nilai yang terkandung dalam sila pertama sangat relevan untuk menjadi landasan terciptanya tatanan dunia yang damai.

Pancasila menegaskan prinsip toleransi, penghormatan antaragama, dan kebebasan berkeyakinan. Prinsip ini sejalan dengan nilai universal yang diakui secara internasional, khususnya sebagaimana tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) Pasal 18, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Dengan demikian, sila pertama tidak hanya memiliki makna domestik bagi bangsa Indonesia, melainkan juga bersifat universal dan dapat dijadikan kontribusi Indonesia bagi kehidupan global.

Menurut Franz Magnis-Suseno (2014), pengakuan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila bukan sekadar pengakuan formal terhadap agama, melainkan sebuah prinsip etis yang menuntut penghormatan terhadap martabat setiap manusia dalam keberagamannya. Hal ini menjadikan sila pertama relevan untuk mereduksi konflik berbasis agama di tingkat internasional, serta memperkuat dialog antariman (interfaith dialogue) sebagai jalan menuju perdamaian dunia. Dengan berlandaskan pada nilai ini, Indonesia dapat memainkan peran penting dalam diplomasi global, terutama dalam mempromosikan moderasi beragama dan kerukunan antarumat beragama di berbagai forum internasional.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menegaskan penghormatan terhadap martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum dan masyarakat. Prinsip ini berakar pada pandangan humanisme universal yang menempatkan manusia sebagai pusat peradaban dan pembangunan. Dalam konteks global, sila ini memiliki relevansi yang sangat kuat karena dunia saat ini masih diwarnai oleh berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi rasial, kesenjangan sosial-ekonomi, hingga praktik eksploitasi terhadap kelompok rentan.

Relevansi sila kedua tampak jelas dalam perjuangan global melawan diskriminasi, baik berdasarkan ras, etnis, agama, maupun gender. Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab sejalan dengan agenda United Nations Human Rights Council (UNHRC) yang menekankan pentingnya penegakan hak asasi manusia sebagai fondasi perdamaian dan stabilitas dunia. Selain itu, sila ini juga selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan ke-10 mengenai pengurangan kesenjangan dan tujuan ke-16 tentang perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang kuat.

Dalam ranah internasional, sila kedua memiliki makna penting dalam memperkuat solidaritas global menghadapi isu-isu kemanusiaan kontemporer, seperti krisis pengungsi akibat perang di Timur Tengah, perdagangan manusia yang marak di Asia Tenggara, hingga dampak perubahan iklim yang mengancam kehidupan masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Menurut Yudi Latif (2018), sila kemanusiaan merupakan jembatan etis yang menghubungkan bangsa Indonesia dengan komunitas internasional dalam memperjuangkan tata dunia yang lebih berkeadilan. Dengan demikian, sila kedua bukan hanya panduan moral domestik, melainkan juga pijakan filosofis Indonesia untuk berperan aktif dalam diplomasi kemanusiaan global.

Persatuan Indonesia

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menegaskan pentingnya menjaga keutuhan dan persatuan bangsa di tengah keberagaman suku, agama, bahasa, dan budaya. Prinsip ini lahir dari kesadaran historis bahwa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang dapat tetap berdiri kokoh hanya apabila persatuan dijadikan landasan utama. Persatuan bukanlah upaya menyeragamkan perbedaan, melainkan mengelola keragaman agar menjadi sumber kekuatan. Dalam konteks global, sila ini memiliki relevansi yang sangat besar karena dunia saat ini diwarnai oleh meningkatnya politik identitas, konflik etnis, serta gelombang nasionalisme sempit yang kerap mengancam perdamaian internasional.

Nilai persatuan dalam Pancasila sejalan dengan upaya membangun integrasi kawasan, misalnya di ASEAN, yang berlandaskan pada semboyan “One Vision, One Identity, One Community.” Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN, berperan sebagai motor penggerak integrasi kawasan yang menghormati keragaman budaya dan sistem politik anggotanya. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip persatuan tidak hanya relevan di dalam negeri, tetapi juga dalam konteks regional dan global.

Lebih jauh, dalam era globalisasi, nilai persatuan dapat berfungsi sebagai benteng terhadap fragmentasi identitas akibat penetrasi budaya global yang sering kali menimbulkan disorientasi nilai di kalangan masyarakat. Menurut Kaelan (2016), sila ketiga mengandung semangat nasionalisme inklusif, yakni nasionalisme yang tidak eksklusif atau menutup diri, tetapi justru terbuka untuk berdialog dengan bangsa lain tanpa kehilangan jati diri. Dengan nasionalisme inklusif ini, Indonesia dapat menjadi teladan bagi dunia dalam mengelola keberagaman sekaligus menjaga kohesi sosial.

Oleh karena itu, sila persatuan bukan sekadar instrumen pemersatu bangsa, tetapi juga memiliki daya jangkau universal. Ia dapat dijadikan dasar bagi kerja sama antarbangsa dalam menghadapi tantangan global, seperti konflik etnis, migrasi besar-besaran, dan ancaman disintegrasi sosial akibat polarisasi politik. Dengan menjadikan sila ketiga sebagai pijakan, Indonesia dapat terus berkontribusi dalam memperkuat solidaritas internasional serta menciptakan tata dunia yang damai dan harmonis.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menjadi fondasi bagi praktik demokrasi di Indonesia. Demokrasi Pancasila menekankan musyawarah, kebijaksanaan, dan keterlibatan rakyat secara substantif, bukan sekadar prosedural. Berbeda dengan demokrasi liberal yang cenderung menitikberatkan pada mekanisme pemilihan suara mayoritas, demokrasi Pancasila mengutamakan mufakat sebagai bentuk penghormatan terhadap kepentingan bersama. Hal ini menjadikan demokrasi Indonesia memiliki corak khas yang mengedepankan nilai kekeluargaan, partisipasi, dan keseimbangan antara hak serta kewajiban warga negara.

Dalam konteks global, sila keempat memiliki relevansi kuat, terutama dalam mendorong lahirnya model demokrasi deliberatif yang menekankan dialog, partisipasi, dan penghargaan terhadap keberagaman pandangan. Demokrasi deliberatif dianggap sebagai alternatif atas krisis demokrasi prosedural di banyak negara, di mana praktik demokrasi sering kali terjebak pada polarisasi politik, dominasi elite, dan lemahnya representasi rakyat. Konsep musyawarah yang terkandung dalam sila keempat dapat menjadi inspirasi dalam membangun tata kelola pemerintahan global yang lebih inklusif, berorientasi pada kepentingan masyarakat luas, serta menjunjung prinsip keadilan.

Lebih jauh, Indonesia melalui Bali Democracy Forum (BDF) sejak tahun 2008 telah berperan sebagai inisiator dalam memperkenalkan model demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai lokal, sekaligus memperkuat kerjasama internasional di bidang demokrasi dan pemerintahan. Menurut Yudi Latif (2018), demokrasi Pancasila menawarkan pendekatan “demokrasi bermartabat,” yakni demokrasi yang tidak hanya menekankan pada mekanisme politik, tetapi juga sarat dengan nilai moral dan kebijaksanaan kolektif. Dengan demikian, sila keempat tidak hanya relevan untuk memperkuat demokrasi di Indonesia, tetapi juga dapat menjadi sumbangan etis dan filosofis Indonesia bagi pengembangan demokrasi dunia.

Oleh karena itu, demokrasi Pancasila dapat dilihat sebagai jembatan antara tradisi demokrasi modern dengan kearifan lokal. Ia menawarkan kerangka tata kelola yang mampu menyeimbangkan kepentingan nasional dengan komitmen global terhadap hak asasi manusia, partisipasi publik, dan keadilan sosial. Dengan menjadikan sila keempat sebagai landasan, Indonesia dapat tampil sebagai aktor penting dalam memperjuangkan demokrasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan di tingkat internasional.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, merupakan landasan etis sekaligus tujuan akhir dari pembangunan nasional. Prinsip ini menekankan bahwa kesejahteraan harus dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali, sehingga tidak terjadi ketimpangan yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Dalam konteks internal, sila kelima menjadi pedoman dalam mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi, menciptakan kesempatan kerja yang setara, serta menjamin akses yang adil terhadap pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya.

Relevansi sila kelima dalam kehidupan global sangat signifikan. Dunia saat ini menghadapi persoalan serius berupa ketidakmerataan pembangunan, di mana kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang semakin mencolok. Fenomena globalisasi yang tidak terkendali sering kali memperbesar jurang tersebut, karena keuntungan ekonomi cenderung terkonsentrasi di negara-negara industri, sementara negara-negara berkembang masih berjuang melawan kemiskinan, eksploitasi sumber daya, dan keterbelakangan teknologi. Dalam hal ini, sila kelima sejalan dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya pada tujuan mengurangi ketidaksetaraan (reduced inequalities) dan membangun kerja sama internasional yang berkeadilan.

Selain itu, nilai keadilan sosial Pancasila juga relevan dalam mendorong sistem perdagangan internasional yang lebih adil dan berkelanjutan. Prinsip ini menolak praktik eksploitasi, monopoli, maupun dominasi ekonomi global oleh segelintir negara, dan sebaliknya mengedepankan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan (mutual benefit). Dalam era digital, keadilan sosial juga menyangkut akses yang setara terhadap teknologi dan informasi, agar transformasi digital tidak hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat atau negara maju, melainkan juga memberdayakan komunitas di negara berkembang.

Dengan demikian, sila kelima dapat dipandang sebagai pijakan moral Indonesia untuk berkontribusi dalam memperjuangkan tatanan dunia yang lebih adil. Menurut Kaelan (2016), keadilan sosial dalam perspektif Pancasila bukan hanya persoalan distribusi ekonomi, tetapi juga menyangkut keadilan dalam hubungan internasional yang menolak ketidaksetaraan struktural global. Oleh karena itu, melalui nilai keadilan sosial, Indonesia dapat memainkan peran aktif dalam forum-forum multilateral guna memperjuangkan tata ekonomi dunia yang lebih seimbang, berkelanjutan, dan manusiawi.
 
Contoh Konkret Implementasi Global
  1. Sila Ketuhanan: Indonesia aktif dalam Interfaith Dialogue serta mengusung moderasi beragama di forum PBB.
  2. Sila Kemanusiaan: Indonesia mengirim pasukan perdamaian PBB (UN Peacekeeping Forces) ke Kongo, Lebanon, dan Sudan serta memberikan bantuan kemanusiaan ke Palestina dan pengungsi Rohingya.
  3. Sila Persatuan: Indonesia berperan sebagai motor integrasi ASEAN dan berhasil mengonsolidasikan kepentingan global dalam forum G20.
  4. Sila Kerakyatan/Demokrasi: Melalui Bali Democracy Forum (BDF), Indonesia memperkenalkan demokrasi yang sesuai dengan nilai lokal sebagai alternatif model demokrasi di dunia.
  5. Sila Keadilan Sosial: Indonesia aktif memperjuangkan climate justice dalam Conference of the Parties (COP) PBB dan mendorong sistem perdagangan internasional yang lebih adil.
Pancasila memiliki relevansi yang tinggi dalam kehidupan global. Nilai-nilainya tidak hanya berfungsi sebagai fondasi bangsa Indonesia, tetapi juga dapat menjadi kontribusi penting bagi peradaban dunia yang lebih damai, adil, dan beradab. Dengan menjadikan Pancasila sebagai pedoman, Indonesia dapat menjaga jati diri di tengah arus globalisasi sekaligus memainkan peran strategis dalam kancah internasional.
 
Daftar Pustaka
  • Kaelan. (2016). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
  • Latif, Yudi. (2018). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Magnis-Suseno, Franz. (2014). Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia.
  • Notonagoro. (1983). Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Soedjatmoko. (1995). Globalisasi: Tantangan dan Jawaban. Jakarta: LP3ES.
  • United Nations. (2023). UN Peacekeeping Operations. New York: United Nations Department of Peace Operations.
  • Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2022). Laporan Diplomasi Indonesia. Jakarta: Kemlu RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembelajaran Berbasis Teknologi: Konsep Dasar #1

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah membawa transformasi besar dalam dunia pendidikan. Proses pembelajaran yang sebe...