Salah seorang teman perempuan yang masih lajang, bertanya pada Kyi di pondok kami, tentang betapa sulitnya dia menemukan pasangan hidup yang cocok dan sesuai dengan kriteria yang diidamkan.
Sang Kyai menasehatinya untuk tidak banyak memilih dalam urusan jodoh. Jika merasa orang itu baik maka mantapkanlah niat mu, jangan terpengaruh dengan masalah fisik atau finansial. Si teman tadi beragumen bahwa dia ingin mencari laki-laki yang sholeh, yang lebih baik dari dia, yang bisa membimbingnya terutama dalam hal agama agar nanti anak keturunannya bisa jadi sholeh/sholehah.
Kyai tersenyum sambil mengangguk-angguk lalu berujar “jangan salah yang menentukan seorang anak itu jadi baik atau tidak adalah ibunya bukan bapaknya. Memang ada andil si bapak tapi peranan ibu jauh lebih besar, percaya tidak? lontarya.
Aku yang dari tadi terdiam mendengarkan jadi terusik “kenapa bisa begitu Kyai?, bukannya ada pepatah yang mengatakan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya dan itu biasanya dikaitkan pada sang bapak bukan ibu”.
“Mari kita belajar dari sejarah, kita mulai dari nabi Nuh. Ketika terjadi tsunami dahsyat yang menghancurkan kaumnya, beliau tidak bisa menyelamatkan anak dan istrinya. Nabi Nuh tidak bisa menjadikan anaknya sendiri beriman kepada Allah. Kenapa?, karena ibunya adalah istri yang durhaka”.
“Kita lihat lagi kisah nabi Luth. Karena istrinya pengikut kaum Sodom (penyuka sesama jenis), anaknya pun tidak beriman dan menjadi pengikut kaum seperti ibunya. Sedangkan nabi Musa, nabi yang menjadi anak angkat Fir’aun, sang raja yang zhalim dan menganggap dirinya tuhan. Walau dibesarkan dalam dan oleh keluarga Fir’aun, beliau kemudian diangkat menjadi Nabi karena sang ibu angkat “Siti Aisyah” adalah perempuan yang taat pada Allah”.
“Ada kisah lain tentang nabi Ismail yang hidupnya lebih banyak dihabiskan bersama sang ibu Siti Hajar. Karena bapaknya nabi Ibrahim mengasingkan mereka ke lembah Makkah yang tandus. Tapi hal itu tidak mengurangi keshalihan nabi Ismail, As. Selanjutnya kisah nabi Isa, As yang dilahirkan tanpa bapak, tapi beliau diangkat Allah swt menjadi nabi berkat sang ibu (Siti Maryam) perempuan suci nan sholehah”.
“Jadi kesimpulannya, untuk mendapatkan keturunan yang baik itu maka baikkanlah dulu ibunya. Karena waktu anak lebih banyak dihabiskan bersama seorang ibu ketimbang bapaknya”.
Penjelasan Kyai yang panjang lebar itu cukup menyentakkan pikiranku. Karena aku merasa belum maksimal menjadi ibu sholehah untuk anak-anak ku.
Terbayang wajah anak-anakku yang akan mewarisi ajaran dan didikan dari ku. Ada rasa sesal saat ku ingat begitu banyak kesalahan yang aku perbuat pada mereka. Termasuk begitu banyak dosa dan kesalahan-kesalahanku yang mungkin nantinya secara tidak langsung akan berpengaruh pada perkembangan jiwa anak-anak ku. Astagfirullahal adzim.... mudah-mudahan belum terlambat untuk memperbaiki diri.
Ini mungkin sedikit pelajaran untuk kita para ibu, agar berhati-hati dalam menjaga amanah Allah ini. Jangan sampai kesibukan kita mengejar duniawi, melalaikan kita dari tugas utama sebagai seorang ibu, seorang pendidik dan pengasuh bagi anak-anak kita. Karena surga itu di bawah telapak kaki mu, bukan suami apalagi baby sitter mu
Komentar
Posting Komentar