Part 2
Masih ingatkah sobat, masjid Al Hijrah yang dulu sering kita datangi untuk sholat Tarawih?Kondisi sekarang sudah jauh lebih baik, lebih megah, lebih cerah dan bertingkat. Tapi sepertinya tidak lebih ramai daripada dulu.
Ada lagi satu bangunan yang dulu sangat lekat dengan Simpang Timbangan. "Rumah Makan Buana". Tempat pemberhentian saya dari mudik, sebut saja " stop Timbangan mang"... dan sopir pun akan menghentikan mobil nya tepat di depan rumah makan ini.
Rumah makan dulu tidak semenjamur sekarang. Seingat saya, Buana adalah rumah makan terbesar di Timbangan kala itu. Rumah makan yang tentu saja tak terjamah oleh kantong mahasiswa, kecuali saat sahabat kami Vamos Angie, datang menginap, berkali-kali kami ditraktir makan di sana... Thanks sist...🥰Rumah makan Buana kini sudah tinggal kenangan. Bangunan nya masih ada tapi sudah tidak berfungsi.
Tidak jauh dari rumah makan Buana, persisnya di sebelah kanan, ada sebuah toko kelontong yang sering kami kunjungi kalau mau beli cemilan. Salah satu teman sekelas kami menyebutnya toko "Bu Sue". Karena tiap kali Kita masuk ke sana, Si Ibu penjaga toko akan menyapa dengan ramah
" Beli Sue...?". Saya waktu itu hanya menebak2 kalau "Sue" itu artinya "Apa" dalam Bahasa daerah sini.
Tidak pernah Saya sangka waktu itu kalau suatu saat kata itu akan menjadi kata yang akan selalu Saya ucapkan sehari-hari ☺. Dan tidak Saya sangka juga kalau saya akan kenal dekat dengan anak2 Bu Sue.
Di sebelah kiri rumah makan Buana, Ada pasar kecil yang menjual sayur mayur, ikan dan kebutuhan sehari2 lainnya. Walau kata orang harga nya jauh lebih mahal daripada harga di pasar Indralaya, kami para mahasiswa tidak begitu peduli. Toh, aktifitas masak- memasak hanya dilakukan sekali2, kalau sempat. Selebihnya, beli.
Di depan pasar ada warung kecil jualan gorengan, yang kuali nya tak henti2 nya beroperasi. Gorengan menumpuk di dalam baskom berukuran besar, beraneka ragam. Yang paling legend ten
Komentar
Posting Komentar