LOKAK, DUNIO GALO, ADO DI KITO
Sepertinya celotehan terkait Pilkada seirama dengan durasi waktu yang ditetapkan oleh KPU dan lagi-lagi pertanyaan serupa berseliweran.
Beda sedikit dengan 5 tahun silam, kali ini cuaca politik di bumi Caram Seguguk
cukup sejuk karena sampai detik akhir pendaftaran, KPU hanya mencatat satu
calon pasangan.
Besar harapan dengan calon tunggal ini semakin meminimalisir residu-residu politik.
Terkadang kasihan melihat segelintir awam yang menjadi korban walaupun itu kesalahannya sendiri.
Lanjut kembali pada pertanyaan yang berseleweran tadi, hahaha.
Makmano, ado lokak dak..... Pilkada lah parak?
Simple namun pertanyaan ini syarat makna dan mudah-mudahan bukan sebagai
visualisasi tradisi kearifan lokal.
Yuk kita bedah sedikit narasi pertanyaan di atas.
Drs. Saudi Berlian, M.Si. salah seorang pemerhati budaya Sumsel,
awalnya kata “lokak” berasal dari kata “Loka” yang berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti peluang.
Dari kacamata sosiologi bahasa, bila kata ini lebih sering diungkapkan
oleh orang yang berpunya atau paling tidak mempunyai informasi dengan ungkapan
“Nak lokak dak?”, maka bermakna kepedulian terhadap orang yang membutuhkan.
Pada saat yang sama hal itu mengungkapkan adanya solidaritas sosial
yang muncul dalam kebiasaan masyarakat yang masih solid dan berpegang teguh
pada nilai-nilai budayanya. Budaya saling tolong, misalnyal.
Sebaliknya, bila sering terucap dari orang yang membutuhkan dengan
ungkapan “Ado lokak dak?”, maka itu mengacu pada makna keterpecahan sosial.
Masyarakat penggunanya berarti telah tidak solid lagi sebab mereka terjebak
pada kecenderungan individualisme dan materialistisme atau masyarakat “matre”.
Pada ranah ini yang menjadi standar acuan tindakan dalam kehidupan bermasyarakat adalah “kepentinganku” atau “aku dapat apa?”.
Jika merujuk pendapat Saudi Berlian, maka kita perlu berhati-hati, jangan sampai kearifan lokal Ogan Ilir tergerus oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan menularkan sikap materalistik pada masyarakat luas.
Kata "ado lokak dak" biasanya tersanding dengan "Dunio galo"."
Hhmm......
Ungkapan sederhana bahkan familier dalam candaan namun kalau kita melihat menggunakan kacamata tauhid, ini dapat menjadi bencana besar karena bisa-bisa tergolong pada sekularisme.
Sekularisme bisa diartikan suatu upaya pemisahan agama (tuhan) dari urusan kehidupan dunia.
Dalam praktiknya, sekularisme akan selalu mendorong manusia untuk melakukan kegiatan melampaui batas yang telah ditetapkan agama melalui firman dan para nabinya.
Sikap ini kita lihat melalui ungkapan "Dunio galo, pacak diatur galo, ado di kito"
Secara substantif, ungkapan ini telah mengenyampingkan peranan atau kuasa sang pencipta dalam tatanan kehidupan.
Memposisikan manusia sebagai pelaku utama (ado di kito) dan penentu bisa menjadi bertolak belakang dengan Al-Quran yang telah menerangkan bahwa tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan atas kehendakNya (Al-Anám 59).
Manusia disunnahkan untuk berusaha semaksimal mungkin melalui cara-cara yang halal dan baik, namun penentu akhir hanyalah ada pada sang Pencipta.
Jangankan segelintir, seluruh penghuni semesta berekayasa maka hanya rekayasa/rencana tuhanlah yang berlaku.
____________
Suatu kebiasaan akan menjadi sebuah budaya yang akan diwariskan pada generasi berikutnya.
Komentar
Posting Komentar